Seseorang dapat disahkan menjadi pandita seyogianya melalui proses belajar dan berlatih secara lahir batin dengan sebaik-baiknya. Ibarat orang belajar berenang tidak cukup hapal dengan teori-teori berenang yang dinyatakan dalam buku teori berenang saja. Mereka seharusnya sudah berpengalaman terjun ke air dalam segala keadaan untuk berlatih berenang sampai mahir berenang di air. Demikianlah seharusnya seorang pandita.
Pustaka Kekawin Nitisastra 1.6 menyatakan ciri-ciri seorang pandita sebagai berikut: Yan ring Pandita ring ksama, mudita, santosa, upeksa, ris mardawa, Sang sastrajnya, wuwusnira amata pada nyangde sutusteng praja. Artinya: Ciri-ciri pandita adalah ksama (pemaaf), mudita (berbudi tenang), santosa (sabar), upeksa (tamat teliti), mardawa (lemah lembut), sastrajnya (berpengetahuan suci), wuwus nira amata (ucapannya bagaikan air penghidupan). Demikianlah ciri-ciri orang yang disebut pandita.
Pandita juga disebut srotriya karena salah satu swadharma pandita adalah melafalkan stotra yaitu puja mantra yang dapat menimbulkan vibrasi kesucian. Melafalkan stotra itu agar dapat menimbulkan vibrasi kesucian hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah memiliki kualitas kepanditaan sebagaimana dinyatakan dalam pustaka suci Hindu seperti yang dikemukakan di atas.
Pustaka Sarasamuscaya 40 juga menyatakan bahwa seorang pandita yang juga disebut srotriya itu harus seorang yang sista atau ahli dalam hal kitab Veda. Karena seorang srotriya atau pandita memiliki empat swadharma yaitu Satya Wadi yaitu senantiasa menyuarakan kebenaran Weda atau satya. Sang Apta artinya orang yang mendapatkan kepercayaannya karena senantiasa menyuarakan dan melaksanakan kebenaran berdasarkan ajaran kitab suci.
Sang Patirthan yaitu orang yang menjadi tempat memohon penyucian diri dengan simbolis air suci atau tirtha. Sang Panadahan Upadesa artinya orang yang senantiasa menyebarkan pendidikan kerohanian kepada umatnya.
Nampaknya pustaka-pustaka Hindu tersebutlah yang dipahami oleh Dang Hyang Nirarta, sehingga setelah beliau datang ke Bali beliau berkeliling di Bali menjumpai umat melalui berbagai tempat seperti tempat-tempat pemujaan, kepusat-pemerintahan sampai beliau dijadikan Bhagawanta atau Purohita Kerajaan di Bali saat itu.
Selain itu, Bahgawanta Dang Hyang Dwijendra juga melakukan perjalanan suci di Bali dan pernah singgah di Pura Luhur Serijong. Selain Dang Hyang Dwijendra, Dang Hyang Nirarta juga pernah berkunjung ke Pura Serijong di pantai Soka di Kabupaten Tabanan bagian barat. Pura ini terletak di pantai Soka.
Pura ini kemungkinan sudah ada jauh sebelum Dang Hyang Nirartha ke Bali. Karena di Pura Srijong atau ada juga sumber yang menyatakan nama Pura ini Sila Jong berfungsi sebagai Pura Segara. Hal ini dapat dibuktikan ada Pelinggih Pura Segara di Pura Serijong. Sebelum ada Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali, sudah ada tiga jenis pura yaitu Pura Segara, Pura Penataran dan Pura Puncak. Ketiga pura ini sebagai media pemujaan Tuhan Yang Kuasa di Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka.
Sebelum Dang Hyang Nirartha datang ke Bali, Pura Serijong itu adalah Pura Segara sebagai sarana untuk memuja Tuhan di Bhur Loka agar alam bawah ini berdinamika secara alami sehingga dapat menjadi sumber kehidupan umat manusia di bumi ini.
Kalau segara atau laut berproses menguap ke udara menjadi mendung karena panas matahari dan mendung turun menjadi hujan tepat pada musimnya, maka hal itu akan menjadi sumber kehidupan umat manusia di bumi ini. Keberadaan Pura Serijong ini tentunya amat sederhana sesuai dengan keberadaan masyarakat pada zaman tersebut.
Saat kedatangan Dang Hyang Nirartha, Pura Serijong ini lebih dikembangkan lagi. Setelah Pura Serijong ini pernah dikunjungi oleh Dang Hyang Nirartha, menurut Pemangku Pura, di lokasi Pura Serijong itu konon dijumpai sinar yang memancar. Setelah itu muncul niat umat dengan tokoh-tokohnya untuk menghadirkan pura tersebut lebih sempurna. Pura Serijong berada jauh di atas goa yang dihuni oleh ribuan kelelawar. Goa menghadap ke laut selatan pantai Soka.
Salah satu upaya umat dalam menghadirkan pura tersebut lebih lengkap dengan membangun sebuah Gedong yang cukup menonjol di Pura Serijong tersebut. Pelinggih Gedong tersebut lebih besar dan lebih tinggi daripada Pelinggih Pura Segara. Pelinggih Gedong yang menonjol itu adalah sebagai stana Dang Hyang Nirartha. Bahkan, umat lebih mengenal pura itu hanya sebagai pemujaan untuk Dang Hyang Nirartha.
Dari keberadaan Pura Serijong tersebut dapat kita ambil suatu makna sosial spiritualnya. Makna sosial spiritual itu untuk memotivasi umat agar memahami proses alam serta berusaha untuk tidak mengganggu proses tersebut. Demikian juga lewat Pura Serijong itu umat agar paham swadharma pandita untuk dijadikan dasar membangun sistem kepanditaan yang semakin mengacu pada konsep pustaka suci Hindu.
Dengan demikian umat akan semakin dapat menjaga wibawa dan ikut serta menegakkan swadharma pandita sebagai Brahmana Varna. Demikian juga kalau ada umat yang memiliki niat untuk menjadi pandita agar benar-benar dapat mengikuti konsep-konsep pustaka suci Hindu. Dengan demikian kedudukan pandita di tengah-tengah umat Hindu akan lebih eksis.( Sumber :www.balipost.co.id )
No comments:
Post a Comment